Aku menikah pada usia yang cukup muda, 21 tahun. Waktu itu masih duduk di bangku kuliah semester 6. Banyak orang yang sulit memahami jalan pilihanku waktu itu, termasuk kedua orangtua, mertua, dan teman-teman seperjuangan. Terus terang ide untuk menikah muda ini telah ada di benakku sejak SMU. Aku berpikir bahwa nanti aku tidak akan lama-lama untuk memutuskan menikah jika segala sesuatunya telah dimudahkan.
Satu hal yang memberi dorongan kuat padaku untuk segera menikah adalah kebutuhan untuk memiliki pendamping hidup serta kebutuhan untuk memikul tanggung jawab sebagai suami. Telah tiba suatu masa di mana aku merasakan bahwa untuk berkembang lebih jauh, aku harus memikul tanggung jawab lebih besar dan itu bisa diwujudkan lewat jalan pernikahan. Jadi prinsip yang kupegang waktu itu adalah: jika Allah memperkenalkanku dengan pasangan yang baik, aku akan mempersiapkan diri untuk menjalani pernikahan. Perkara onak dan duri yang menghadang adalah suatu keniscayaan dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan selama didasari oleh niat yang tulus dan mengharapkan pertolongan-Nya.
Terus terang pertanyaan paling sering yang ditanyakan orang menjelang pernikahanku dulu adalah bagaimana kau akan menghidupi anak-istri, sedangkan diri ini masih status mahasiswa, masih dibantu pula oleh orangtua. Apa bisa hidup hanya dengan cinta? Bagaimana nanti jika kuliah jadi berantakan? Atau akhirnya terpaksa drop-out karena harus menghidupi keluarga?
Satu hal yang kuyakini adalah menikah bukanlah perhitungan matematis di atas kertas dan aku membuktikannya sendiri. Penghasilan yang kupunya saat itu sebagai pengajar les privat hanyalah sekitar 100 ribu per bulan. Aku berterus terang kepada pasangan bahwa hanya itu yang kumiliki per hari itu. Satu hal yang bisa kujanjikan padanya adalah aku akan menjadi suami yang bertanggung jawab untuk memimpin dan menafkahi keluarga, dengan cara apapun yang Allah mudahkan untukku. Aku tidak tau bagaimana caranya tapi aku yakin jalan itu senantiasa ada. Jika ia memberikan kepercayaan kepadaku, aku akan memegang teguh kepercayaan itu. Jika ia ragu, aku pun tidak akan memaksakan diri untuk menikah dengan orang yang ragu.
Setelah menjalani pernikahan, Allah mengajariku bahwa Dia benar-benar memahami kebutuhan hamba-Nya. Jika engkau yakin akan pertolongan-Nya, mintalah kepada-Nya dan Dia akan menghampirimu tepat di saat kau benar-benar membutuhkan. Setelah menikah, entah bagaimana caranya, Allah memberi penghidupan buat kami sekeluarga walaupun orangtua tidak lagi mengirimkan bantuan untuk anaknya yang masih kuliah. Meskipun penghasilanku tidak pernah jelas jumlahnya tetapi senantiasa cukup. Ketika aku dan keluarga butuh sedikit, Allah memberikan jumlah yang sedikit itu. Ketika kebutuhanku makin besar, Allah pula yang memberikan jalan untuk mencukupinya. Tapi kita harus jujur untuk meminta agar dicukupkan, bukan dilebihkan. Honestly, you will be amazed how it works!
Well, it’s my destiny. Bagi sebagian orang lain, menikah tentu tidak segampang dengan pengalamanku di atas. Dan benar memang menikah juga bukan hal sederhana. Perlu suatu perencanaan matang dari kedua pasangan agar kelak tidak menyesal. Menikah merupakan perjanjian agung yang membuat langit berguncang. Tentunya wajib untuk dipikirkan dan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Apakah menikah muda lebih baik ketimbang menunggu pada usia yang lebih “matang”? Jawabku tidak ada yang lebih baik diantara keduanya, semuanya tergantung pada kondisi yang dihadapi masing-masing orang. Menikah muda tanpa memiliki visi dan perencanaan akan membawa bencana. Sementara menunda-nunda pernikahan dengan alasan menunggu “mapan dan matang” padahal segala hal telah dimudahkan menurutku bukanlah hal yang baik. Jadi, ketika keinginan muncul, kemampuan telah diberikan, dan kesempatan terbuka di depan mata, segera bulatkan tekad, ucapkan bismillah dan mohonlah pertolongan-Nya untuk menjalani sebuah pernikahan. Jangan pernah takut karena pernikahan adalah jalan para pemberani. Akan ada banyak rintangan dan tantangan di depan. Semuanya untuk dihadapi dan dijalani dengan hati lapang, bukan untuk dikhawatirkan atau ditakuti.
Berbicara tentang perencanaan nikah, banyak orang terjebak pada hal-hal yang bersifat fisik baik untuk mempersiapkan hari-H pernikahan itu sendiri sampai pernak-pernik setelah menikah. Wah acara pestanya diadakan di mana ya? Di rumah atau di gedung? Kira-kira siapa saja yang akan diundang? Pesan makanan berapa banyak ya? Apakah nanti cukup atau tidak? Setelah nikah nanti tinggal di mana? Kira-kira gajiku cukup apa enggak untuk menghidupi keluarga? Wah kayaknya butuh kendaraan nih supaya gampang kalau bepergian?
Persiapan hari-H penting namun jangan sampai menjadi beban yang berlebihan. Ingat itu cuma satu hari padahal kita menikah bukan untuk hari itu saja. Persiapan tempat tinggal, penghasilan, kendaraan dan lain-lain juga penting untuk menyokong kehidupan pernikahan, namun jangan sampai membuat pikiran jadi kusut.
Adapun persiapan yang jauh lebih perlu diperhatikan adalah kesiapan dari kedua pasangan untuk secara fisik, mental dan spiritual saling membantu dan membangun rumah tangganya. Persiapan ini menuntut kedua belah pihak untuk menerima pasangannya apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangan. Persiapan ini mewajibkan pasangan untuk menjadi cermin satu sama lain dengan saling memperbaiki diri untuk mendukung kemajuan spiritual keduanya.
Kini tak terasa sudah enam tahun lebih aku menikah dengan seorang wanita sederhana yang kucintai dan mencintaiku. Kami telah dikaruniai 3 orang putra untuk dididik dan dibantu menemukan potensi dirinya. Semoga Allah menguatkan kami berdua, untuk sama-sama belajar, saling memperbaiki diri, dan tolong-menolong dalam membangun rumah tangga yang kokoh dengan mengharapkan ridha-Nya.