Bidadari Ringkin

Bidadari-Ringkin

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas kelahiran putri tercinta kami pada hari Minggu, 11-10-09 pukul 03.15 BBWI. Ini adalah anak keempat kami, setelah sebelumnya dikaruniai Allah tiga orang putra.

Menyambut kehadirannya, berikut adalah sebuah cerpen karya ibunya – Nurul Noer – yang ditulis sepuluh tahun lalu ketika masih menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

Teruntuk bidadari kecil kami, semoga Allah memberkahi dan memberi kebaikan kepadanya. Semoga kelak menjadi anak yang solehah dan bidadari yang dibanggakan kedua orangtuanya. Semoga Allah membimbing kedua orangtuanya agar dapat mendidiknya dengan baik dan benar untuk menjalankan tugas mulia.

Anda dapat membaca pula dalam versi asli cetaknya dengan meng-klik gambar di atas.

*****

BIDADARI RINGKIN

Ekspresinya datar saja membaca kartu merah jambu yang dipungutnya pagi itu di depan pintu. Di tangan kanannya tergenggam beberapa kuntum mawar merah dalam ikatan pita sewarna. Empat-lima tahun yang lalu ia masih tersenyum-senyum dan berdebar-debar membaca surat semacam itu. Tapi kini tak lagi. Itu toh sudah sangat biasa baginya.

Bidadari

Mungkin tak kau hiraukan pemberian ini

Tapi aku tak peduli

Karena bagiku, cinta adalah memberi

Man who loves you

 

Dirobeknya kartu itu lalu ia pergi ke belakang. Mencari sesuatu wadah lagi yang dapat dipakainya sebagai vas.

“Bunga lagi, Ri?” Neneknya mengaduk teh dalam teko keramik kecil.

“Iya Nek,” sahutnya sambil mengisi air ke dalam sebuah toples ramping.
“Siapa pengirimnya?”

“Ia tak mencantumkan nama.”

“Mungkin kiriman-kiriman itu akan berhenti saat kau bersuami. Ada kau berpikir tentang itu?” neneknya tersenyum.

“Ah Nenek,” bersemu merah pipinya.

“Biar kutaruh bunga ini dulu di kamar, Nek.”

Di atas meja putih berukir ditaruhnya mawar itu. Sinar matahari menerobos masuk lewat jendela menerangi sebagian permukaan meja. Ia duduk di pinggir tempat tidurnya yang berwarna langit. Memandang cermin di hadapannya ia mendesah. Rupanya terpikir juga dalam otaknya apa yang dikatakan nenek barusan. Menit berikutnya ia termenung-menung saja. Ada sesuatu dirasa berat dalam pikirannya.

Apa Kakek Nenek mau menerimanya?

– Bukan mereka yang kau khawatirkan, tapi dirimu sendiri.

Rasanya aku masih ragu-ragu menerimanya bila suatu saat nanti ia datang.

– Kalian manusia tak tahu apa-apa. Kau minta yang terbaik, diberi-Nya yang terbaik. Jangan lihat dulu dengan mata biasa. Lihatlah dengan mata batin. Takkan kecewa orang yang menyerahkan pilihan pada Allah.

Ya, mungkin aku hanya perlu waktu.

– Mungkin.

Tapi kapan ia akan datang?

– Bila saatnya tiba nanti. Ikhlaskan saja hati.

 

 

“Ri, sarapan dulu Nak. Cepatlah, hampir dingin tehmu” panggil sebuah suara dan luar.

“Iya, Nek. Sebentar lagi.” Disambarnya jepitan warna emas dan atas meja, lalu pergi menghilang. Bayangan bidadari pun lenyap dan cermin.

“Bi… da… da.. ri…” begitu gagap ibunya terakhir kali saat melihat kemolekan bayi perempuannya. Sudah, lalu wanita mulia itu syahid setelah mengantarkan putrinya ke dunia Kasihan benar anak itu. Ia yatim piatu. Ayahnya pergi lima bulan mendahului ibunya. Pergi begitu saja, dalam sebuah tidur malam biasa yang tak terbangunkan keesokan pagi.

Kakek neneknya lalu merawatnya. Mereka bingung akan menamainya apa. Orangtuanya tak menitipkan sebuah nama apapun. Lalu tercetus ide “Bidadari”. Seperti kata ibu anak itu terakhir kali.

“Nama itu terlalu singkat,” kata kakeknya.

Neneknya mengangguk, “Tapi apa tambahannya?”

“Emm…,” kakeknya menggumam sambil menopang dagu di atas tangan, gaya orang berpikir.

“Ya, aku tau!” kakek menjentikkan jari.

“Ringkin, kita tambahi saja Ringkin. Ringgodiharjo dan Kintamani.”

Bidadari Ringkin. Jadilah begitu bunyi nama anak itu. Orang memanggilnya Ari, atau cukup ber-Ing-Ing saja khusus teman akrabnya.

Itu kejadian delapan belas tahun lewat. Ia gadis remaja sekarang. Bak bunga di taman, banyak kumbang datang menjelang. Ada satu dua yang menarik hatinya. Tapi, sebagai pendamping yang baik kuingatkan selalu ia.

– Untukmu harus yang terbaik. Bisikku pada hatinya.

Siapa yang terbaik itu?

– Yang mencintaimu dengan benar, tentu.

Siapa yang benar-benar mencintaiku dan bagaimana aku mengetahuinya? Bisa saja seseorang mencintaiku karena fisikku semata bukan?

– Aku tak bilang begitu. Kubilang yang mencintaimu dengan benar.

Yang mencintaiku dengan benar, yang benar-benar mencintaiku. Mmm, apa bedanya itu?

– Yang mencintaimu dengan benar akan mencintaimu seperti yang seharusnya.

Seperti apa yang seharusnya?

– Cintai penciptamu dulu, cintai kekasih penciptamu, lalu baru cintai ciptaan lain penciptamu, termasuk kamu. Orang yang begitu yang terbaik, tentu.

Kenapa yang begitu yang terbaik?

– Karena itu yang terbaik di sisi Yang Maha Terbaik.

Lantas apa lagi?

– Kau mau apa lagi? Itu sudah yang paling baik. Apa kenikmatan surga karena bimbingan hamba terbaik belum cukup bagimu? Apa kebebasan dari neraka karena penjagaan hamba terbaik belum cukup menurutmu? Apa perjumpaan dengan wajah Allah karena cinta mencintai karena-Nya belum jadi ganjaran terbaik bagimu? Aku berlepas diri darimu bila menurutmu ada yang lebih baik dari itu.

Bagaimana cara mendapat yang terbaik itu?

– Jadilah yang terbaik dan mintalah dalam setiap doa. Mintalah pada Yang Tak Pernah Menolak.

Aku berdoa, lalu Allah memberiku?

– Ya, yakinlah. Allah mengikuti persangkaan hamba-Nya.

Itu nasehatku dulu. Lalu ia mengikutinya. Seminggu yang lalu jawaban datang, dalam tiga mimpi berturut-turut. Dia bimbang. Aku tahu itu.

Bidadari Ringkin, manusia cantik yang kudampingi secara gaib, menikah enam bulan kemudian. Ketika undangan disebar, banyak orang lalu bertanya-tanya siapa lelaki beruntung yang mendampinginya. Ketika resepsi selesai, mereka kembali bertanya-tanya, mengapa ia memilih lelaki itu. Berbagai dugaan dan spekulasi pun muncul kemudian, kerena para undangan telah sepakat satu hal: mereka bagai langit dan bumi.

Aku tak menyalahkan pikiran mereka. Bila aku manusia, aku pun mungkin akan berpendapat demikian. Tapi dalam pandanganku sekarang, mereka adalah pasangan yang cocok sekali. Hamba terbaik untuk seorang bidadari. Bidadari untuk seorang hamba terbaik.

Ditulis oleh: Nurul Halida

Dimuat dalam buletin Filosofia, Universitas Indonesia, Vol 1 No. 4, 10-23 Maret 1999

Vol 4 hal 01

14 thoughts on “Bidadari Ringkin”

  1. Assalamu'alaikum wr wb … bro & Sis … selamat ya atas kehadiran putri-nya. Semoga menjadi anak yang sholehan dan mengangkat derajat Orang tuanya … AmiinInget Filosofia … inget sama Hylmun cari Dana dan Inget sama Syakur Nempel2 Leaflet di seluruh UI malem2 hingga sampai jam 12.00 malem … ha ha ha nice memory

  2. Terima kasih atas doa semua sahabat-sahabat. Semoga kami berdua bisa menjaga amanah anak-anak ini dengan baik. Tulisan ini dimuat di buletin Filosofia yang dirintis bersama-sama teman-teman di UI sepuluh tahunan lalu. Sayang sekarang sudah tidak ada dan sepertinya zaman sudah berubah, sekarang saatnya buletin online daripada buletin cetak 🙂

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top