Kecerdasan Emosional Membantu Sukses Dalam Pekerjaan

Emotional Intelligence At Work Istilah Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence) mulai populer sejak diperkenalkan secara massal pada tahun 1995 oleh Daniel Goleman lewat bukunya berjudul Emotional Intelligence – Why It Can Matter More Than IQ. Sebenarnya istilah ini sudah muncul sebelumnya dan sebagai terminologi dipakai dalam tesis doktoral Wayne Payne di tahun 1985. Untuk sejarah lebih lengkap dapat Anda baca di sini.

Apa Itu Kecerdasan Emosional?

Ada banyak perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional. Secara relatif bidang ini dianggap masih baru dalam Psikologi dan masih mencari bentuknya yang lebih mantap. Secara sederhana saya mencoba memahaminya sebagai:

  • kemampuan mengenali emosi diri sendiri
  • kemampuan mengendalikan emosi dan mengambil tindakan yang tepat
  • kemampuan mengenali emosi orang lain
  • kemampuan bertindak dan berinteraksi dengan orang lain

Dengan demikian orang yang cerdas secara emosional adalah orang yang memahami kondisi dirinya, emosi-emosi yang terjadi, serta mengambil tindakan yang tepat. Orang tersebut juga secara sosial mampu mengenali dan berempati terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan menanggapinya secara proporsional.

Kecerdasan Emosional dan Realita Dunia Kerja

Dalam bukunya yang terkenal itu, Daniel Goleman menyebutkan disamping Kecerdasan Intelektual (IQ) ada kecerdasan lain yang membantu seseorang sukses yakni Kecerdasan Emosional (EQ). Bahkan secara khusus dikatakan bahwa kecerdasan emosional lebih berperan dalam kesuksesan dibandingkan kecerdasan intelektual. Klaim ini memang terkesan agak dibesarkan meskipun ada beberapa penelitian yang menunjukkan kebenaran ke arah sana. Sebuah studi bahkan menyebutkan IQ hanya berperan 4%-25% terhadap kesuksesan dalam pekerjaan. Sisanya ditentukan oleh EQ atau faktor-faktor lain di luar IQ tadi.

Jika kita melihat dunia kerja, maka kita bisa menyaksikan bahwa seseorang tidak cukup hanya pintar di bidangnya. Dunia pekerjaan penuh dengan interaksi sosial di mana orang harus cakap dalam menangani diri sendiri maupun orang lain. Orang yang cerdas secara intelektual di bidangnya akan mampu bekerja dengan baik. Namun jika ingin melejit lebih jauh dia membutuhkan dukungan rekan kerja, bawahan maupun atasannya. Di sinilah kecerdasan emosional membantu seseorang untuk mencapai keberhasilan yang lebih jauh.

Berdasarkan pengalaman saya sendiri dalam proses rekrutmen karyawan, seseorang dengan nilai IPK yang tinggi sekalipun dan datang dari Universitas favorit tidak selalu menjadi pilihan yang terbaik untuk direkrut. Ada kalanya orang yang pintar secara intelektual kurang memiliki kematangan secara sosial. Orang seperti ini bisa jadi sangat cerdas, memiliki kemampuan analisa yang kuat, serta kecepatan belajar yang tinggi. Namun jika harus bekerja sama dengan orang lain dia kesulitan. Atau jika dia harus memimpin maka akan cenderung memaksakan pendapatnya serta jika harus menjadi bawahan punya kecenderungan sulit diatur.

Orang seperti ini mungkin akan melejit jika bekerja pada bidang yang menuntut keahlian tinggi tanpa banyak ketergantungan dengan orang lain. Namun kemungkinan besar dia akan sulit bertahan pada organisasi yang membutuhkan kerja sama, saling mendukung dan menjadi sebuah “super team”, bukan “super man”.

Tentunya tidak semua orang yang cerdas secara intelektual seperti itu. Dan bukan berarti kecerdasan intelektual tidak penting. Dalam dunia kerja kecerdasan intelektual menjadi sebuah prasyarat awal yang menentukan level kemampuan minimal tertentu yang dibutuhkan. Sebagai contoh beberapa perusahaan mempersyaratkan IPK mahasiswa minimal 3.0 atau 2.75 sebagai syarat awal pendaftaran. Hal ini kurang lebih memberikan indikasi bahwa setidaknya kandidat tersebut telah belajar dengan baik di masa kuliahnya dulu.

Setelah syarat minimal tersebut terpenuhi, selanjutnya kecerdasan emosional akan lebih berperan dan dilihat lebih jauh dalam proses seleksi. Apakah dia punya pengalaman yang cukup dalam berorganisasi? Apakah calon tersebut pernah memimpin atau dipimpin? Apa yang dia lakukan ketika menghadapi situasi sulit? Bagaimana dia mengelola motivasi dan semangat ketika dalam kondisi tertekan? Dan banyak hal lagi yang akan diuji.

Dalam dunia kerja yang semakin kompetitif, kemampuan seseorang menangani beban kerja, stres, interaksi sosial, pengendalian diri, menjadi kunci penting dalam keberhasilan. Seseorang yang sukses dalam pekerjaan biasanya adalah orang yang mampu mengelola dirinya sendiri, memotivasi diri sendiri dan orang lain, dan secara sosial memiliki kemampuan dalam berinteraksi secara positif dan saling membangun satu sama lain. Dengan cara ini orang tersebut akan mampu berprestasi baik sebagai seorang individu maupun tim.

Beberapa Karakteristik Orang Yang Sukses dalam Pekerjaan

Jika kita melihat orang yang sukses dalam pekerjaan, ada beberapa karakteristik umum yang mirip satu sama lain:

  • Bekerja dengan sepenuh hati dan riang
  • Memiliki prestasi dalam pekerjaan sebagai individu dan tim
  • Mampu mengelola konflik
  • Mampu menghadapi dan menjalankan perubahan
  • Memiliki empati terhadap atasan, bawahan dan rekan kerja
  • Mampu membaca dan mengenali emosi diri sendiri maupun orang lain serta mengambil tindakan yang tepat dalam menanganinya

Jika kita perhatikan, maka hampir semua daftar di atas akan dimiliki oleh orang yang cerdas secara emosional. Khusus untuk item nomor dua diperlukan kecerdasan intelektual yaitu bagaimana seseorang bisa menjadi ahli di bidangnya. Memiliki pengetahuan dan skill yang mumpuni agar bisa berprestasi secara individu. Selanjutnya kecerdasan emosional akan membantunya berprestasi pula sebagai tim bersama rekan kerja, bawahan maupun atasannya.

Secara sederhana, ada dua kelompok keahlian yang dimiliki orang yang cerdas secara emosional:

  1. Kemampuan Pribadi
    • Pengenalan diri (Self Awareness), memahami emosi, batasan yang dapat dicapai, kemampuan, kekuatan dan kelemahan.
    • Manajemen diri (Self Management), mampu mengendalikan diri menghadapi berbagai situasi
    • Orientasi Tujuan (Goal Orientation), mengetahui apa yang menjadi tujuannya dan menyusun langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapainya.
  2. Kemampuan Sosial
    • Empati: mengenali perasaan dan emosi orang lain serta mampu menempatkan diri dalam posisi tersebut.
    • Keahlian sosial (Social skills): mampu berinteraksi dengan orang lain, bekerjasama, mengelola konflik serta bersikap dengan tepat terhadap berbagai situasi perasaan dan emosi orang lain.

Melatih Kecerdasan Emosional

Sejak kecil kita telah memiliki emosi dan berinteraksi dengan emosi tersebut. Kebiasaan kita dalam menanganinya akan terus terbawa dan menjadi karakter seseorang ketika dewasa. Dengan demikian, alangkah berbahagianya seorang anak yang memiliki orangtua yang peka dan pelatih emosi yang baik. Anak seperti ini akan berlatih menangani dirinya sejak masa kecil. Untuk topik ini insya Allah akan saya posting dalam kesempatan yang akan datang.

Bagaimana jika ketika dewasa kita kurang memiliki kematangan secara emosional? Jawabannya adalah kecerdasan tersebut dapat dilatih. Cara paling awal adalah dengan mengenali emosi diri Anda ketika terjadi. Kenali apa saja yang berkecamuk dalam dada Anda dan suara-suara yang memerintahkan Anda untuk bertindak. Tahapan berikutnya adalah melakukan kontrol diri terhadap berbagai bentuk emosi yang ada. Bagaimana Anda mengendalikan diri ketika marah, tidak terpuruk ketika merasa kecewa, dapat bangkit dari kesedihan, mampu memotivasi diri dan bangkit ketika tertekan, mengatur diri dari kemalasan, menetapkan target yang menantang namun wajar, serta bisa menerima keberhasilan maupun kegagalan dengan lapang dada.

Jika hal tersebut sudah Anda kuasai, selanjutnya adalah melatih kematangan sosial. Bagaimana Anda berempati – merasakan apa yang dirasakan orang lain – sehingga bisa memberi respon yang tepat terhadap sinyal-sinyal emosi yang ditampilkan orang lain. Kematangan ini akan mudah dikembangkan jika Anda aktif terlibat dalam organisasi, bekerjasama dengan orang lain dan memiliki interaksi sosial yang intens. Latihlah kemampuan Anda dalam memimpin dan dipimpin, memotivasi orang lain, serta mengatasi dan mengelola konflik.

Bagi saya pribadi, memahami emosi sangat membantu dalam mengenali diri dalam tahap awal. Selanjutnya adalah mengenali dan mengendalikan oknum-oknum yang saling berperang dalam diri: berbagai keinginan, kesombongan, iri hati, dengki, kebencian, amarah dan sifat-sifat lainnya. Cerdas secara emosional akan membantu Anda pada tahap awal untuk mengenali diri dengan lebih baik, sekaligus bersikap positif dan melatih kematangan menghadapi kehidupan, apapun yang terjadi: susah atau senang, sukses atau gagal, mudah atau sulit.

Selamat belajar, semoga Allah membantu saya dan Anda menjadi orang yang lebih baik lagi di masa mendatang.

Anda punya pandangan lain tentang hal ini? Silakan sampaikan pendapat Anda.

Bahan Rujukan:

  • Kecerdasan Emosional oleh Daniel Goleman, Gramedia Pustaka 1996. Diterjemahkan dari Daniel Goleman (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books
  • Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak oleh John Gottman, Ph. D. dan Joan DeClaire, Gramedia Pustaka, 2008. Diterjemahkan dari John Gottman, Ph. D. & Joan DeClaire (1997). The Heart of Parenting.
  • Wikipediahttp://en.wikipedia.org/wiki/Emotional_Intelligence
  • Emotional Intelligence At Work – E-Learning Course

25 thoughts on “Kecerdasan Emosional Membantu Sukses Dalam Pekerjaan”

  1. Endy Julisetiawan

    Pak Nur, saya setuju bahwa kecerdasan emosi sangat menentukan kesuksesan kita dalam pekerjaan.
    Saya pernah mengikuti suatu training yang berkaitan dengan EQ ini. Ada hal2x yang dikatan bahwa EQ yang baik jika tidak dikendalikan oleh kesadaran spiritual akan berakibat negatif.
    Mungkin sering juga kita jumpai di lingkungan kerja kita yang mana seseorang memiliki EQ yang baik sehingga dia mampu “menaklukan” boss dan secara kasat mata menggunakan kelebihannya ini untuk “menyikut” penghalangnya.
    Mungkin ini sebuah contoh ekstrem, tapi bagaimana menurut anda.

    1. Terima kasih atas komentarnya Pak Endy.
      Saya tidak berusaha memisahkan EQ dengan quotient-quotient lainnya. Cuma sengaja dipakai istilah EQ karena sudah lebih dulu populer.
      Setuju dengan Pak Endy, bahwa manusia yang baik adalah yang paripurna, atau bahasa lainnya insan kamil (sempurna keseluruhannya).
      Ini adalah perpaduan dari memahami tujuan hidupnya, memahami agamanya, beramal yang soleh sehingga akhirnya menjadi pohon yang berbuah memberikan manfaat bagi semua orang di sekitarnya.

      Jika ada dikatakan orang dengan EQ baik kemudian memanfaatkannya dengan cara tidak baik, maka menurut saya tidak masuk dalam definisi EQ baik tadi.

      Semoga membantu.

  2. Mohon dikoreksi kalau salah Bro.Seperti halnya kematangan kecerdasan intelektual yang "dimasak" oleh "tungku pendidikan" formal/informal, kematangan kecerdasan emosional ini juga mempunyai atribut-atribut sebagai bahan kematangannya. Seperti tuntunan keluarga, lingkungan sekitar (sahabat, rekan kerja, teman sekolah, dll) dan pengalaman dari apa yang pernah dihadapi.Namun uniknya kematangan kecerdasan emosional ini terpulang kembali kepada individu yang mengolahnya. Sehingga secara teoritis, apa yg bisa terukur secara logika dari tingkat kematangan seseorang dari segi umur, pendidikan dan pengalaman yang lebih panjang tidak menjamin kematangan kecerdasan emosional ini.

  3. Terima kasih Bro Rachmat atas ide dan komentarnya.Benar sekali bahwa kematangan emosional atau sosial juga perlu latihan. Latihan pertama sebenarnya dimulai ketika masa kecil kita.Umur seringkali tidak berkorelasi langsung dengan kematangan seseorang. Ada yang masih muda tapi memiliki kematangan dalam melihat persoalan. Ada yang sudah senior tapi masih kekanak-kanakan. Meskipun secara relatif orang yang lebih tua tentu akan memiliki kekayaan pengalaman karena faktor sudah hidup lebih lama 🙂

  4. saya sepaham dengan apa dikata oleh pak nur,Eq (faktor sosial) sangat panting dalam menjadikan seseorang akan melejit dengan dunia pekerjaan, karna dengan dukungan dari berbagai faktor sosial seseoarng akan Berhasil, terutama dengan dunia kerja yang langsung berhubungan dengan masyarakat.

  5. Assalamu ‘alaikum wr.wb.
    Mohon ijin semangat berbagi indahnya saya masukkan ke blogroll tapi temanya belum diedit masih ingat-ingat lupa bahasa Inggrisnya T kasih wassalam..

  6. Laurencia Regina

    1. Saya sangat tergugah dengan tulisan Mas Nur..
    saya merasa EQ saya juga tidak terlalu baik, meski saya sering memimpin, tetapi ketika saya dipimpin saya tidak mau diatur..
    2. saya seorang yang tidak terlalu membutuhkan teman.. bagaimana menurut Mas Nur, mengatasi Emosional seperti itu? saya sadari saya memiliki kekurangan, tetapi saya sudah berusaha keras untuk bersikap butuh teman saat bergaul, tetapi terkadang teman bagi saya hanya membuat saya merasa sampingan.(tidak penting).. saya merasa teman tidak ada yang Tulus..
    3. Hanya Tuhan saya yang memberikan Ketulusan sebagai sosok sahabat yang mengerti saya
    4. hal-hal ini saya ingin tahu pendapat dari Mas juga… tq

    1. Salam Mbak Laurencia,

      Kecerdasan emosional bisa dilatih dan sangat perlu dilatih. Jika kita memiliki kesempatan untuk memimpin atau dipimpin, itu adalah salah satu kesempatan emas melatihnya. Saran saya coba sering-sering dengarkan kata hati sebelum dan setelah bertindak. Biasanya menyuarakan tindakan-tindakan yang seharusnya kita lakukan.

      Hal yang juga perlu dilatih adalah empati. Sebelum bertindak coba renungkan apa yang akan dirasakan oleh orang lain atas tindakan kita. Dengan cara ini secara perlahan keterampilan emosional akan semakin peka. Kita akan tau kapan saatnya harus bertindak santun dan kapan harus tegas. Pilihan tindakan kita didasarkan atas pengetahuan dan kepekaan sosial.

  7. Saya seorang mahasiswa yang book oriented dan introvert, tapi lama2 saya khawatir juga jika kedepan saya dihadapkan dengan kondisi yang memerlukan hubungan komunikasi lebih intens antara saya dengan dosen pembimbing saat penyusunan skripsi nanti. Khawatir tidak tahu bagaimana cara yang baik menyampaikan tujuan kita bertemu dosen tersebut.
    Mas, apa kecerdasan emotional itu bisa dipelajari (dilatih)?. Kecerdasan emotional ada pengaruhnya dengan komunikasi kita keorang lain ya?.

    1. Desti,

      Tentu saja kecerdasan emosional bisa dilatih. Langkah-langkahnya saya kira sudah dijelaskan pada artikel di atas 🙂
      Coba dipraktekkan ya.

  8. ..Sungguh Luar BIasa pak Kata Katanya pak…
    …dulu saya sempat minder dengan masadepan saya karna saya putus kuliah..Keluar dari pekerjaan yang sebenarnya pekerjaan itu mempunyai masadepan yang baik buat saya.

    tapi dengan kemampuan dan kecerdesan serta niat yang saya miliki maka saat ini saya bisa seperti ini..
    dan setelah membaca ini ..saya semakin yakin melangkah dan memajukan diri untuk menjadi lebih baik dan berkembang…
    saat ini teman teman kuliah saya sedang sibuk mencari pekerjaan. sedangkan saya alhamddllh sudah mmliki usaka sendiri walau kecil
    …intinya makasih ya pak noer…..
    tulisan anda menjadi motivasi buat sayya…
    salam sukses sllu pak

  9. Safia Renhoat

    menurut saya kecerdasan emosinal itu memang perlu namun bagaimana mengubah pengertiaannya menjadi bahasa/pengertian sehari-hari agar dapat kita mengerti

  10. Assalamualaikum wr wb,
    Tentu banyak cara untuk melatih EQ yang bertujuan untuk menjadi insan yang matang secara emosional sebagaimana ditulis oleh Mas M Noer.
    Saya ingin berbagi pengalaman, salah satu cara, semoga manfaat.
    Saya yg sdh lansia masih terus berlatih, caranya sangat simpel yaitu dg meditasi, diawali dg niat, sbb:
    “Bawah sadar saya setuju, dengan meditasi merasakan napas saya menjadi insan yang matang secara emosi dan selalu berpikir positip dalam semua aspek kehidupan saya”
    Selanjutnya duduk santai, bersila atau bersimpuh mana yg dirasa paling nyaman yg penting tubuh harus “relax,” fokus dengan otak kanan rasakan napas atau aliran udara masuk dan keluar lubang hidung, jangan dipikir krn pikiran akan menggiatkan otak kiri, selama meditasi ini hanya otak kanan yg aktip untuk merasakan napas kita, semakin lama semakin terasa aliran udara napas semakin kedalam mengalir dalam dada atau paru2, dan dada atau paru2 mulai hangat, selanjutnya dengan semakin fokus mulai terasa gerak pompa jantung dalam dada kita. Kondisi ini adalah target yg harus di capai setiap latihan meditasi merasakan napas. Lakukan secara rutin dan teratur misalnya bada salat 5 x setiap hari selama 10-15 menit merasakan napas sampai terasa gerak pompa jantung dalam dada.
    Makna ilmiahnya, dengan semakin fokus merasakan napas maka gelombang otak kita akan turun sampai ke kondisi alpha “sedang” 10-9 Hz/detik.
    Dengan membiasakan atau melatih otak dalam keadaan gelombang alpha “sedang” secara rutin dan teratur, insyaAllah kematangan emosi atau EQ kita akan semakin meningkat, dengan demikian insyaAllah akan memudahkan kita untuk menjadi insan yang sabar, ikhlas dan pandai bersyukur untuk menuju “insan kamil”
    Jadi dengan metoda ini yang penting dipahami dan dicapai secara objektip adalah target “merasakan gerak pompa jantung di dada = gelomgang otak alpha 10-9 Hz/detik.”
    Selamat berlatih.
    Wassalam,
    Achmad Karno Widjaya
    Dokter Umum dan Praktisi Energy Medicine Reiki-Tao

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *